3.23.2009

Bright Sole Mio (bright-solemio)


Bright Sole Mio.. Nama memang berjuta arti.. Boleh jadi nama itulah yang membentuk sebuah diri. Itu yang saya harapkan dari nama blog ini bright- solemio.. 

Tahun 2004 saya mulai membuat sebuah e-mail yang namanya saya pikirkan matang-matang. Saya ingin sebuah nama yang nantinya bisa dikenal seluruh dunia, haha. Sebelumnya, saya sudah pernah punya e-mail tapi karena tidak aktif jadilah hangus.

Suatu hari, seusai latihan angklung di kampus, saat itu saya masih mahasiswa dan aktif sebagai seniman angklung. Latihan hari itu adalah lagu O Sole Mio, sebuah lagu berasal dari Italia. Kalau penggemar Pavaroti pasti tahu lagu ini. 

Saya suka dengan instrumentalia lagu ini. Apalagi dibawakan dengan angklung, jadinya extraordinary deh. Setelah selesai latihan, saya tanya ke pelatih saya, pak Eddy namanya. "Pak, ini lagu artinya apa ya?" tanya saya. "O Sole Mio itu artinya, Oh.. Matahariku," jawab pak Eddy. Ooohh... saya mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar (nyengir tepatnya, haha).

Hmm.. kedengaran unik dan enak juga. Jadi terinspirasi deh. Berlanjut di warnet, saya punya proyek penting yaitu membuat alamat e-mail baru. Saya memang suka pakai nama yang saya kreasi sendiri bukan nama asli saya.. Utak-atik, setelah ditimbang-timbang sana-sini. Ditilik arti harfiahnya, keharmonisan bunyinya, kesesuaian artinya... Voala, jadilah bright_solemio@yahoo.com. Hmmm.. senangnya. Ini nama yang menarik, unik dan cantik. Begitu menurut saya, dan itu yang selalu saya sosialisasikan tentang nama alamat e-mail saya.

Secara harfiah, hehehe, mulai rada ilmiah dikit nihh.. Bright Sole Mio artinya Matahariku Cemerlang/Terang. Sejujurnya, ada harapan dari nama itu, saya berharap nama e-mail saya ini bisa jadi pencetus optimisme buat diri saya sendiri minimal, hohoho..  Boleh dong.

Sepanjang perjalanannya, nama e-mail saya ini selalu menuai komentar yang macam-macam. "Ehh.., susah amat sih namanya," komentar yang pesimis. "Wuah, bagus yaaa alamat e-mail kamu," kata yang ekspresif. "Alamat email kamu unik, apa artinya?" kata yang kritis. "Gile, keren juga alamat e-mail loe," kata yang optimis. 

Oya, saya sempat dipanggil si bright oleh salah satu koordinator liputan saya waktu saya masih di majalah SWA (tahun 2005). Namanya mas Yudi, ini contohnya. "Eh, bright sini, gimana kerjaan kamu?" katanya kalau udah mulai mau tanya-tanya kerjaan saya udah kelar ato belum. Hahaha, saya cuma cengar cengir aja dipanggil si bos, soalnya kerjaan belum beress, hihihi. 

Memang sih, kalau ditanya artinya, saya paling cuma jawab Matahariku yang Cemerlang. Nah, ini cerita baru terjadi. Narasumber saya, mas Riza Andre namanya, seorang yang optimis tiba-tiba mengomentari alamat e-mail saya lewat sms sesudah saya minta dia untuk mengirimkan CV-nya.

"Oh iya, by the way, email address-nya bagus banget ya. Very possitive and inspiring hopes and great future. The essence of life on this planet will depend on your 'bright solemio' =D

Hmm.. saya gede rasa juga dikomentarin begitu, hehehe. Tapi yang pasti sih seneng banget. Ya, katanya apalah arti sebuah nama. Ternyata nama berarti banyak banget yaa.. sudah baca posting saya sebelumnya berjudul Extraordinary Breakfast.

Nama adalah doa. Doa adalah harapan. Harapan adalah cermin manusia optimis. Optimis adalah cikal bakal kemauan berikhtiar. Dan hanya manusia yang  punya harapan, berikhtiar dan berdoa saja yang bisa bertemu dengan Khalik-nya... benar begitu?? Mau menambahkan??

So, be bright sole mio.. Maksud saya, optimis bisa bertemu wajah indah-Nya. 

More beautiful than this world and entire... And, I miss to meet my Lord.

Kolibri - The Humming Bird


Sayapnya bergerak sangat cepat, mungkin bisa 60 kali kepakan per detik. Bentuknya mungil dan tampak sangat ringan terbang menghisap madu. Ada kombinasi warna kuning di punggung antara sayapnya. Itu?? burung Kolibri alias The Humming Bird.. 

It was a surprise,  I saw a Colibri at Jakarta. Near of my office. Sempat ga percaya juga, masa masih ada burung ini di Jakarta. Dia terbang bebas di antara pagar hidup mencari bunganya. Saking penasaran, saya dekati, benar bukan ya Kolibri. Dan ternyata benar. It was a Colibri alias the Humming Bird. Vagus sekali motif bulunya. Warna kuning menghias punggungnya. 

Saya ambil fotonya dengan kamera di handphone saya tapi gagal. burung itu gesit sekali, gerakannya cepat sudah menelusup ke dalam pagar hidup yang rimbun itu. Memang,kalau datang ke kantor saya di daerah Buncit Persada, pasti heran masih menemukan tempat yang hijau dan asri seperti lingkungan kantor saya ini. 

Sebagai mantan anak hutan, bukan orang utan ya, saya dari kecil terbiasa main di pohon, haha. Jadi begitu tahu kantor saya pindah ke tempat yang hijau ini, senangnya hati ini. Dan, hari ini ga nyangka juga ketemu burung Kolibri alias The Humming Bird yang mungil dan cantik..

Saya sempat kucek-kucek mata juga, bener ga sih penglihatan saya?? takutnya cuma halusinasi. Tapi bener kok, it was a humming bird... 

Jadi ingat, seorang teman bule menjuluki saya the Humming Bird, katanya saya kaya Humming Bird. Geraknya cepat dan sering kelaperan tapi kok ga gemuk-gemuk, hahaha..

Padahal, menurut saya porsi saya makan ga banyak kok. Tanya aja sama langganan saya beli makan?? suka dikomentarin. "Ih, kok dikit banget nasinya, neng." Kebetulan aja, temen bule saya itu ketemu saya pas lagi kelaperan dan bawaannya pengen makaaannn mulu, hahaha.

Ngomong-ngomong, kok bisa ya si Humming Bird itu nyasar ke komplek kantor saya? apa itu piaraan yang lepas ya?? tapi, kalau itu piaraan yang lepas, saya seneng banget. Dia merdeka! Dan saya beruntung bisa menikmati cantiknya... 

3.19.2009

Extraordinary Breakfast


Sarapan pagi ini tidak seperti biasanya. Pertama, saya biasa sarapan dengan dua gelas air putih dan segelas cereal instan. Biasanya menghindari sarapan yang berat-berat seperti nasi goreng-nasi uduk-lontong, dan lain-lain (walaupun sebenarnya enak banget sih, haha). Roti masih oke lah.. alasannya, pagi-pagi terlalu kenyang bikin saya ngantuk. Pagi ini saya sarapan nasi goreng dan macaroni panggang di kediaman seorang ibu dokter yang sudah sepuh… Suguhan tuan rumah yang tidak mungkin saya tolak karena tergiur dan bolehlah sekali-kali melanggar kebiasaan. Alhamdulillah kenyang dan sekarang agak mengantuk… 

Kok bisa pagi-pagi sarapan di rumah orang yang baru kenal?? Inilah pentingnya fleksibilitas bagi seorang wartawan. Saya pernah dengar begini, “Mosok anak gadis nginap di rumah orang ga dikenal, ikut makan pula.” Hmm… tergantung konteksnya, kalau konteksnya untuk menjaga keselamatan, saya merasa menginap dadakan seperti itu justru harus disyukuri. Pasalnya, saya mewawancarai narasumber saya dari Sukabumi mulai pukul 22.30 dan selesai pukul 24.00 WIB. 

Narasumber saya tersebut menginap di rumah orang tua angkatnya di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan dan saya sama sekali tidak kenal. Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk pulang, demi keselamatan maka saya dianjurkan untuk menginap. “Pulang besok pagi saja, mbak Rina,” saran narasumber saya tersebut. Di daerah tersebut memang sudah tidak ada angkutan umum jam segitu, mau naik taksi, hmm.. no bujet. Pikir-pikir.. ide bagus juga walaupun sebenarnya saya kikuk karena tidak kenal dengan pemilik rumahnya, tapi akhirnya saya nikmati saja. Sudah ngantuk berat jadi sungguh beruntung habis liputan bisa langsung istirahat.. 

Sebelum sarapan, saya masih ada sesi foto sang narasumber. Pagi yang cerah dan halaman rumah yang indah dihiasi pohon Thunberghia yang sedang berbunga, jadi tidak ada kesulitan mencari latar belakang foto. Beberapa saat kemudian muncul seorang ibu yang dengan ramah menyapa narasumber saya. “Lima menit lagi sarapan ya,” katanya. Saya senyum-senyum dan bertanya-tanya dalam hati, “Empunya rumah bukan, yaa?” Dugaan saya benar. “Ini siapa?” tanyanya kepada saya. “Saya Rina bu,” jawab saya singkat. Beliau mengangguk-angguk langsung ngeh karena ternyata narasumber saya sudah cerita perihal kedatangan saya. “Nanti sarapan dulu ya,” ajaknya ramah. Siapa yang bisa menolak??hehehe.

Di meja makan, saya duduk bersebelahan dengan empunya rumah, narasumber saya dan keluarganya di bangku lainnya. Kami berenam duduk mengelilingi meja makan bundar. Empunya rumah hampir berumur 80 tahun, seorang dokter umum yang spesialis mempelajari manajemen rumah sakit. Ibu Wahyuni namanya. Beliau dokter perempuan pertama bidang tersebut di Indonesia. “Saya belajar di Canada ilmu spesialisasi manajemen rumah sakit,” ujarnya. Ibu banyak bercerita pengalamannya tentang adat istiadat dari negar-negara yang pernah dikunjunginya.

“Rina harus tahu ini, di Jeddah wanita itu bajunya longgar. Bukan seperti ini,” katanya menunjuk pakaian dan kerudung saya yang dinilainya masih belum longgar (saya memakai tunik panjang ukuran XL sepanjang lutut yang agak kebesaran-kerudung saya menutup hingga bawah dada-celana hitam kain yang juga sebenarnya kebesaran). Ibu pun berpakaian layaknya jilbaber Jeddah saat di sana walaupun ibu seorang Katolik. Tapi, tetap saja, orang Jeddah asli bisa mengenali mana pendatang mana penduduk asli walapun semua tampak sama pakaiannya. “Dari cara jalan ternyata bisa dikenali, jalan saya cepat tidak seperti penduduk lokal yang jalannya santai” kata Ibu. Maksudnya, pakaian saya di Jeddah belum masuk kategori layak tampil-harus lebih longgar, panjang dan hitam-hitam. 

Lalu ibu bertanya, “Namamu Irna atau Erna?” tanyanya mengingat. “Saya Rina, bu,” jawab saya. “Rina Suci,” kata narasumber saya melengkapi. “Suci,” gumam ibu. “Kamu tahu apa arti namamu itu?” tanya Ibu. Dalam hati saya terkejut, baru kali ini ada orang yang bertanya hal itu pada saya. “Hmm, Suci secara harafiah mungkin bersih ya bu?” saya menjawab dengan balik bertanya. “Saya ingin jawaban bukan pertanyaan,” jawab Ibu. 

Honestly, saya tidak pernah memikirkan secara detail arti nama saya Rina Suci Handayani, dan membahas satu kata saja Suci, rupanya bisa jadi perbincangan menarik di meja makan sarapan pagi tadi. “Kamu tahu tidak hakikat Suci itu?” tanyanya. Saya terdiam, berpikir dan menjawab agak ragu, “mungkin saya diharapkan menjadi orang yang bersih secara jiwa dan jujur.” Ibu hanya menjawab singkat, “Kalau tidak tahu lebih baik katakan tidak tahu, saya akan ceritakan sesuatu.” 

Ibu lalu bercerita tentang budaya di North Pole. Budaya orang North Pole untuk menghormati tamu laki-laki? Tuan rumah akan memberikan anak gadisnya untuk menemani tamu tersebut dan boleh berhubungan layaknya suami dan istri. “Kalau si anak perempuan itu bilang bahwa dia tidak dijamah sedikitpun oleh tamu tersebut. Bisa-bisa tamu itu di‘krek’,” kata Ibu sambil memeragakan jari yang memotong leher. “Itu dianggap tidak menghormati. Memberikan anak gadisnya, itulah nilai positif yang mereka anut,” kata Ibu. Bandingkan dengan budaya positif Indonesia. “Hati-hati dengan kata positif. Apa yang dimaksudkan positif di suatu tempat belum tentu positif di tempat lain,” katanya.

“Bayangkan kamu memiliki sebuah Mercedes yang kamu kendarai ke arah Puncak. Lalu di tengah jalan tiba-tiba mogok. Di situ ada bengkel Toyota. Setelah dicek ternyata onderdil yang kamu butuhkan tidak sesuai untuk Mercy-mu. Kamu pilih mana, tetap pakai itu atau kembali ke bengkel Mercedes yang orisinil?” tanya Ibu kepada istri narasumber saya. “Saya pilih yang orisinil,” jawabnya. Ibu mengangguk.

“Siapa yang menciptakan kamu?” tanya Ibu kepada saya. “Tuhan,” jawab saya singkat. “Jadi tidak setuju dengan teori Darwin ya,” katanya lagi. “Engga lah, bu,” kata saya. “Kata-kata Tuhan itu apa namanya?” tanya Ibu. “Firman,” jawab saya. “Apa yang ada dalam Firman, yang kamu pelajari, yang kamu baca. Peraturannya kalau kamu langgar artinya apa?”tanya Ibu berturut-turut. “Berdosa, bu,” jawab saya. “Tuhan menginginkan apa dari peraturan yang ditetapkan-Nya?” tanyanya. “Manusia supaya bersih dan memiliki hati yang mulia kan?” tanyanya. Saya mengangguk, benar yang ibu katakan.

"Sebenarnya nama kamu itu berat, Suci, hakikatnya Suci itu tidak melanggar peraturan Tuhan. Mengikuti nilai dan petunjuk yang Tuhan katakan dan menurut Tuhan positif,” jelas Ibu yang dua anak perempuannya adalah muallaf. “Jadi, nilai positif apa yang harus diikuti? Positif manusia atau Tuhan yang kamu percaya?” tanyanya. “Positif menurut Tuhan,” jawab istri narasumber saya yang juga seorang muallaf. Ibu menatap mata saya, “Ya, nilai positif menurut Tuhan bukan menurut manusia karena positif menurut manusia itu bisa berbeda-beda, contohnya budaya menghormati tamu di North Pole,” kata Ibu. “Bagi mereka itu positif, bagi kita itu tidak, begitupun sebaliknya,” kata Ibu. “Jadi bagaimanapun juga kembali kepada yang orisinil- darimana kita berasal,” katanya. 

Extraordinary breakfast, baru kali ini saya sarapan plus tanya jawab filosofis. Bagi saya, sarapan pagi ini membuka mata saya bahwa Ibu menilai bahwa seorang wartawan dipandang berwawasan luas. Dalam sebuah buku memang ditulis, wartawan itu ibaratnya kamus pengetahuan umum. Seorang wartawan selayaknya mengetahui hal-hal umum di sekitarnya dan di dunia walaupun tidak mendetail. Sarapan pagi ini membangunkan saya bahwa ada pandangan sperti itu tentang profesi saya, bahkan Ibu yang seorang dokter dan doctor pula memandang seperti itu. Wah, artinya masih perlu terus menambah wawasan nih.

Pimred saya selalu bilang, menjadi wartawan itu bukan sekedar meliput dan melaporkan sebuah berita tapi lebih dari itu. Membaca salah satu kuncinya dan bila kembali ke asal saya, Allah SWT memang sudah mememerintahkan untuk membaca dan membaca. Mengaji ayat-ayat-Nya. 

“Seberapa banyak Rina membaca Al Quran?” tanya Ibu. “Insya Allah sering bu tapi belum paham semua,” jawab saya. Dan yang paling berkesan dan membuat saya bangkit untuk tafakur lebih dalam ketika ibu bicara begini. “Rina ini berpakaian muslimah tapi belum tentu Rina ini muslim yang baik. Tuhan hanya melihat hati seseorang tidak melihat penampilan sesorang,” katanya bijak sambil menatap mata saya. Saya terbangun…. Allahu Akbar.

Bahkan menelaah nama sendiripun baru pagi ini saya lakukan. Itupun baru satu kata saja, Suci.. Masih ada dua kata lagi Rina dan Handayani yang belum saya ketahui hakikatnya. Namun, sarapan pagi ini memang luar biasa…